loyalitas itu hadiah

Andrias Harefa*

John W. Gardner dalam bukunya On Leadership (Free Press, 1990) antara lain menulis : "Konstituen yang setia dimenangkan oleh mereka yang, sadar atau tidak, dinilai cakap untuk memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan mereka, ketika pemimpin terlihat seperti simbol yang mewakili norma-norma yang mereka anut, dan ketika citra sang pemimpin itu (apakah itu berkesesuaian dengan kenyataan atau pun tidak) selaras dengan mitos-mitos dan legenda yang mereka percayai".

Pernyataan itu menegaskan bahwa loyalitas adalah 'hadiah' yang diberikan oleh konstituen kepada orang yang mereka anggap pantas menjadi pemimpin mereka. Dan 'hadiah' itu diberikan berdasarkan persepsi mereka tentang kemampuan seseorang untuk mewakili mereka dalam hal tertentu. "Kemampuan" dalam hal apa? Utamanya dalam hal memberikan pemecahan masalah dan melayani kebutuhan para konstituen tersebut.

Dengan logika terbalik dapat dikatakan bahwa loyalitas bukanlah sesuatu yang dapat 'dipaksakan' seorang pemimpin kepada konstituennya. Sebab bagaimana mungkin seseorang boleh (sekalipun mungkin dapat) memaksa pihak lain untuk memberikan suatu 'hadiah' kepada dirinya? Bukankah hal itu, seperti yang biasa dilakukan oleh pejabat Orde Baru kepada kroni-kroni mereka, tidak saja lucu dan wagu, tetapi juga irrasional? Dan bukankah orang yang tidak mampu berpikir rasional tidak pernah layak kita angkat sebagai pemimpin?


John W. Gardner dalam bukunya On Leadership (Free Press, 1990) antara lain menulis : "Konstituen yang setia dimenangkan oleh mereka yang, sadar atau tidak, dinilai cakap untuk memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan mereka, ketika pemimpin terlihat seperti simbol yang mewakili norma-norma yang mereka anut, dan ketika citra sang pemimpin itu (apakah itu berkesesuaian dengan kenyataan atau pun tidak) selaras dengan mitos-mitos dan legenda yang mereka percayai".

Pernyataan itu menegaskan bahwa loyalitas adalah 'hadiah' yang diberikan oleh konstituen kepada orang yang mereka anggap pantas menjadi pemimpin mereka. Dan 'hadiah' itu diberikan berdasarkan persepsi mereka tentang kemampuan seseorang untuk mewakili mereka dalam hal tertentu. "Kemampuan" dalam hal apa? Utamanya dalam hal memberikan pemecahan masalah dan melayani kebutuhan para konstituen tersebut.

Dengan logika terbalik dapat dikatakan bahwa loyalitas bukanlah sesuatu yang dapat 'dipaksakan' seorang pemimpin kepada konstituennya. Sebab bagaimana mungkin seseorang boleh (sekalipun mungkin dapat) memaksa pihak lain untuk memberikan suatu 'hadiah' kepada dirinya? Bukankah hal itu, seperti yang biasa dilakukan oleh pejabat Orde Baru kepada kroni-kroni mereka, tidak saja lucu dan wagu, tetapi juga irrasional? Dan bukankah orang yang tidak mampu berpikir rasional tidak pernah layak kita angkat sebagai pemimpin?

Lebih jauh dapat pula dikatakan bahwa dalam hal kepemimpinan, akan lebih berguna jika kita mempelajari hal ihwal pelayanan konsumen (customer service) ketimbang banyak buku manajemen yang memperlakukan orang lain sebagai things dan bukan people (ingat, we manage things and lead people). Sebab dengan konsep-konsep pelayanan pelanggan atau konsumen seseorang dapat belajar bagaimana melayani konstituennya (baca: konsumennya). Bila tingkat kepuasan konsumen atau konstituen meningkat, maka layaklah diharapkan loyalitasnya pun naik.

Untuk dapat menciptakan konstituen yang loyal, pemimpin tak bisa lari dari kewajiban mengenali nilai-nilai dan norma-norma yang dianut konstituennya, mengetahui mitos-mitos dan legenda yang dipercayai konstituennya, dan bertindak dalam bingkai yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan mereka itu. Ibarat seorang pembicara publik yang profesional, pemimpin wajib mengenal 'audiensnya' sebelum, ketika, dan sesudah berbicara. Tanpa itu ia tidak akan didengarkan dengan sungguh-sungguh. Tanpa itu ia tidak bisa berbicara untuk menawarkan pemecahan masalah atau hal lainnya. Tanpa itu ia tidak tahu kompetensi apa yang perlu dikembangkannya. Tanpa itu ia tidak tahu visi macam apa yang akan menarik dan menggerakkan hati konstituennya. Tanpa itu ia tidak akan diikuti dengan setia.

Karena memenangkan hati konstituen, termasuk konsumen meski tak terbatas hanya itu, adalah suatu proses 'transaksi' dan mengandung unsur 'kompetisi', maka tak pelak lagi pemimpin harus memiliki kecakapan dalam hal komunikasi dan membina hubungan interpersonal. Ia terutama harus dapat menjadi pendengar yang empatik. Ia harus dapat membaca bahasa tubuh dan mata konstituennya. Ia harus mampu berbicara mewakili jeritan dan impian dari hati konstituennya (yang acap kali tak terucapkan). Ia harus bisa menuliskan pesan-pesan yang menggambarkan keinginan konstituennya. Dan seterusnya. Singkatnya, ia harus pertama-tama cukup rendah hati dan banyak mendengarkan (listening bukan sekadar hearing) konstituennya sebelum angkat bicara.

Tentu saja semua itu hanya penting kalau sang pemimpin ingin mendapatkan hadiah bernama loyalitas. Bukankah demikian?

0 komentar:

Designed by Posicionamiento Web | Bloggerized by GosuBlogger | Blue Business Blogger